Siang itu angin semilir memasuki rumah
kediaman pengrajin batik tulis “Gumelem” di Desa Penarusan, Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah. Sang empunya rumah bersama delapan orang pembatik
lainnya sibuk menorehkan canting di lembaran kain putih. Sementara pada sudut
ruangan lainnya, tiga orang remaja putra dan 2 remaja putri asyik menyungging
pola batik “Pintu Retno”.
Ini batik pesanan teman-teman PNS dari daerah
Wonodadi dan yang itu pesanan teman-teman PNS dari Banjarmangu, ucap Mirah (39 th) pemilik sanggar kerajinan batik
tulis “Gumelem” mengawali perbincangannya dengan Derap Serayu belum lama ini.
Sambil terus menorehkan canting berisi malam
(lilin) di lembaran kain putih, Mirah menuturkan jika rutinitasnya itu sudah
dilakoni semenjak masih usia 8 tahun. Jika usianya sekarang telah mencapai 39
tahun, itu artinya Mirah sudah 31 tahun aktif membatik, ujarnya. Ia sendiri
mulai mengembangkan batik secara mandiri baru sekitar 3 tahun dengan modal awal
Rp 1 juta. Sebelumnya ia membantu kedua orang tuanya yang juga sebagai pembatik
di Gumelem Kolon.
Melestarikan budaya bangsa, nampaknya menjadi
alasan paling pokok ibu dengan tiga orang anak itu mengembangkan batik tulis
“Gumelem”. Dengan berbagai kelebihannya yang melekat, batik tulis belum akan
tergoyahkan, apalagi dengan adanya promosi yang terus menerus dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Banjanegara, imbuh mirah.
Perkembangan batik sekarang, Mirah merasa
bangga karena batik tidak hanya dipakai oleh orang yang sudah matang, tetapi
mulai banyak dipakai oleh kalangan remaja. Batik memang pantas dipakai oleh
siapa saja dan dalam acara apapun, baik dalam acara santai maupun formal.
Di Desa Gumelem dan penarusan, kegiatan
membatik dijadikan sebagai mata pencaharian oleh sebagian warga khususnya kaum
ibu. Cukup banyak motif yang dikembangkan, seperti motif Sidamukti, Gajah
Uling, Sekar Jagad, Pring Sedapur, Kopi Pecah, Parang Rusak, Udan Liris, Rujak
Sente serta Parang Kusuma.
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini,
Mirah tidak hanya membuat batik tulis dengan motif klasik saja, motif dan warna
kontemporer juga diproduksi untuk memenuhi selera konsumen, seperti motif
Simbaran, Arum Kenanga, Giri Langen dan motif kontemporer lainnya.
Menyinggung tentang proses pembuatan kain
batik, secara singkat Mirah mengatakan bahwa membatik adalah menuliskan malam
(lilin) yang dicairkan di atas kompor
pada kain yang sudah dipola sebelumnya dengan menggunakan canting. Kain yang
sudah selesai ditulis itu kemudian diberi warna dengan cara dicelup. Proses
pencelupan bisa berulang-ulang tergantung jumlah warna yang dikehendaki. Maka
jangan kaget jika satu lembar kain batik waktu yang dibutuhkan bisa mencapai
satu minggu, sedangkan untuk kain batik yang halus bisa mencapai setengah
bulan.
Dengan tigabelas orang tenaga pembatik dan
penyunggging, setiap bulan mirah mampu memproduksi sekitar 90 lembar kain batik
biasa. Sedangkan untuk batik dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, seiap
bulannya baru mampu memproduksi lebih kurang 32 lembar. Harganyapun berfariasi
antara Rp 75 ribu hingga Rp 300 ribu. Jenis batik yang sering diproduksi adalah
jenis batik dengan harga sekitar Rp 90 ribu.
Menyinggung masalah pemasaran, selama ini
baru bisa mencukupi pasar local yang sebagian besar merupakan pesanan.
Presentasinya mencapai sekitar 90 persen dan sisanya 10 persen dijual dipasar
seperti ketika ada acara pameran dengan dukungan dari Dekranasda Kabupaten
Banjarnegara. Bagi seorang Mirah, dunia perbatikan semula hanyalah sebatas hobi,
tetapi sekarang telah menjadi hoki, lumayan buat mencukupi kebutuhan keluarga
meski masih dalam skala kecil.
Perkembangan dunia batik tulis “Gumelem” kini
benar-benar telah menemukan trendnya, ini membuktikan bahwa masyarakat konsumen
menerima dan prospek kedepannya lumayan bagus, imbuh Mirah. Persoalannya
adalah, justru masih sulitnya mencari air bersih, selama ini Mirah harus
mengambil air sumur dengan cara menimba. Karena itu ia mengharapkan pihak dinas
terkait untuk bisa memberikan alat pompa air (S.Bag)
Sumber
Sumber